Tawadhu dan Lemah Lembut dalam Mengajar

           

A. Tawadhu’ dalam Mengajar

     Rendah hati merupakan bagian dari sifat mulia, yang dapat mengantarkan pelakunya pada nilai-nilai kemuliaan dan keagungan. Sifat rendah hati juga merupakan sifat mutlak bagi setiap hamba kepada Tuhannya. Dengan kerendahan hati, kualitas spiritual dan ritual akan semakin meningkat. 
Sikap rendah hati juga sikap mutlak dalam interaksi antar

manusia. Sikap ini menumbuhkan sikap saling menghormati dan menghargai di antara sesama. Sifat tawadhu itu sangat dibutuhkan dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk aspek pendidikan. Setiap pendidik juga dituntut harus bisa bersikap tawadhu karena memang aktifitas seorang pendidik yang ilmiah, dedukatif, dan interaktif selalu bersentuhan dengan orang banyak (anak-anak didik), sehingga mereka tidak akan canggung ketika bertanya ataupun berdialog.
Nabi Muhammad SAW adalah orang yang paling pandai dalam bersikap dan bersifat rendah hati. Karena itu ia kerap kali mengajarkan kepada umat manusia untuk bersikap rendah hati, sebagaimana ditegaskan dalam sabdanya,
“Allah telah memberi wahyu kepadaku, yaitu agar kamu semua berendah hati, tidak saling membanggakan dan saling menyakiti.”
Dengan sifat tawadhu’ yang dimiliki oleh guru, akan memberi dampak positif bagi sang guru maupun murid. Ia dapat menghancurkan batas yang menghalangi antara keduanya. 

             Rarasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku agar kalian bersikap tawadhu’ sehingga seseorang tidak bersikap sombong pada yang lainnya dan tidak mendzalimi satu sama lainnya” [HR. Muslim].

                Kesombongan bisa mengakibatkan murid menjauhi guru mereka. Mereka juga akan menolak ilmu yang diberikan. Padahal, murid akan mampu menyerap ilmu dengan baik saat murid dekat dengan pengajarnya. Sifat tawadhu’ lah yang dapat mewujudkan kedekatan tersebut.

           Pada hakikatnya, seseorang memang harus memiliki sifat tawadhu’. Nabi Musa As pernah ditegur oleh Allah ketika beliau menyangka bahwa tak ada seorang pun dari manusia yang lebih pandai darinya. Bentuk teguran Allah ialah dengan mempertemukan beliau dengan nabi khidir. Nabi Musa pun banyak belajar ilmu dari nabi Khidir yang tidak diketahui olehnya sebelumnya. Kisah ini tertuang dalam Al-Quran surat AL-Kahfi ayat 60-82 dan juga dalam hadits nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari.
Anas ra berkata, “Seorang budak perempuan dari Madinah diambil (dimerdekakan) oleh Rasulullah, sehingga ia bisa pergi kapan saja.”(HR. Muslim)
Dari Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda, “Allah tidak mengutus seorang nabi kecuali ia bisa menjaga harta benda.” Para sahabat bertanya, “Dan engkau ?” Nabi menjawab, “Ya, aku adalah yang menjaga kirat-kirat penduduk Mekkah.”(HR. Bukhari)
Dari Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda, “Jika aku dititipi keledai atau kuda, aku akan menjaganya dan jika aku dihadiahi keledai atau kuda, aku akan menerimanya.” (HR. Bukhari).
Dalam hal ini nabi sangat menakjubkan. Kerendahan hatinya seperti orang yang mengenal Tuhannya dengan rasa sungkan dan malu kepada-Nya. Dia mengangungkan-Nya dan 
menghormati-Nya dengan penghormatan yang sesungguhnya. Dia begitu tunduk kepada-Nya dan menyadari kehinaan pangkat, harta dan jabatan. Sehingga ruhnya pun pergi menuju Allah, dan jiwanya hijrah ke alam akhirat.
Dia tidak lagi merasa takjub terhadap hal-hal yang membuat warga dunia merasa takjub. Hingga dia pun benar-benar menjadi hamba Tuhannya. Dia rendah hati kepada orang-orang beriman, membela para lansia, mengunjungi orang sakit, bersimpati kepada orang miskin, membantu orang yang sengsara, menolong orang-orang lemah, bercanda dengan anak-anak, bersenda gurau dengan keluarga, berbicara dengan umat, makan bersama orang banyak, duduk di atas tanah, tidur di atas pasir dengan beralaskan pasir dan berbantalkan tikar. 
Dia merasa puas kepada Tuhannya. Dia tidak tamak terhadap popularitas, kedudukan (status social), keinginan sesaat, atau tujuan duniawi lainnya. Dia berbicara kepada kaum wanita dengan lembut, menyapa orang asing dengan hangat, akrab dengan masyarakat, dan murah senyum kepada sahabat-sahabatnya. Dia pernah menyatakan,
“Sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba. Aku makan seperti makannya hamba, dan aku duduk seperti duduknya hamba.” (HR. Ibnu Abi Ashim, Az-Zuhd:1/6)
Allah memerintahkan Rasul-Nya yang mulia untuk tawadhu’ kepada orang yang beriman. Allah berfirman:
Artinya : “Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, Yaitu orang-orang yang beriman.”[QS. Asy-Syu’ara (26):  215]
Rasulullah SAW merupakan gambaran praktik hidup dari ke-tawadhu’-an yang diperintahkan oleh Allah. Beliau bersikap tawadhu’ terhadap para sahabatnya. Banyak buktinya di dalam sirah-nya yang harum, di antaranya: 
1. Rasulullah SAW tidak menyukai para sahabat berdiri menghormatinya 
Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari, Ahmad, At-Tirmidzi dan Adh-Dhiya’ Al-Maqdisi dari Anas bin Malik, ia berkata, “Tidak ada orang yang paling dicintai oleh para sahabat melebihi Rasulullah SAW. Walau demikian ketika melihat Rasulullah SAW mereka tidak berdiri, karena mengetahui bahwa Rasulullah SAW tidak menyukai hal itu. 
        Al-Mulla Ali Al-Qaary dalam menjelaskan hadits ini berkata, “Karena mereka (para sahabat) mengetahui Rasulullah SAW membenci mereka berdiri (untuk memberikan penghormatan), sebagai bentuk tawadhu’ Rasulullah SAW kepada Tuhannya dan menyelisihi kebiasaan orang-orang yang sombong dan orang-orang yang durhaka.
2. Mendengar Bacaan Murid 
Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abdullah, ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, 
“Bacalah kepadaku Al-Qur’an.” Saya berkata, “Ya Rasulullah! Apakah saya membacakan untuk anda, padahal ia diturunkan pada anda?” Beliau bersabda, “Saya rindu untuk mendengarkannya dari selainku.” Saya membaca surat An-Nisa, dan ketika sampai pada ayat,    
Artinya : “Maka Bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (Rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu).”[QS. An-Nisa (04) : 41]
Saya mengangkat kepala atau salah seorang disamping saya mengerling saya, dan saya melihat air mata beliau bercucuran.
Termasuk yang paling berat bagi para penuntut ilmu dan ulama adalah mendengar dari orang yang lebih rendah darinya dalam keutamaan dan keilmuan. Di sini orang yang paling mulia dan paling tinggi kedudukan dan tempatnya (Rasulullah SAW) meminta kepada Abdullah bin Mas’ud, salah seorang muridnya, untuk memperdengarkan kepada beliau bacaannya. Alangkah tinggi ke-tawadhu’-an beliau. 

B. Lemah-Lembut Dalam Mengajar

Ar-Rifq adalah sifat lemah lembut di dalam berkata dan bertindak serta memilih untuk melakukan cara yang paling mudah. (Fathul Bari syarh Shahih Al Bukhari)
Sudah sepantasnya bagi seorang muslim untuk berhias dengan sifat yang sangat mulia tersebut, karena ia merupakan bagian dari sifat-sifat yang dicintai oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Dengannya pula merupakan sebab seseorang dapat meraih berbagai kunci kebaikan dan keutamaan. Sebaliknya, orang yang tidak memiliki sifat lemah lembut, maka ia tidak akan bisa meraih berbagai kebaikan dan keutamaan.

Sebagaimana disebutkan pula dalam sebuah hadits:

“Orang yang dijauhkan dari sifat lemah lembut, maka ia dijauhkan dari kebaikan.” (HR.Muslim)

Bersikaplah lemah lembut selalu dalam tutur kata dan jauhi ucapan yang kasar karena ucapan yang lemah lembut akan mampu menjinakkan jiwa yang sedang berontak. Sangat banyak sekali dalil-dalil dari Al-Qur’an dan as-Sunnah mengenai hal ini.
Sebagaimana firman Allah di bawah ini, 
Allah telah menjadikan Nabi-Nya bersikap lemah-lembut dan penyayang kepada orang mukmin. Allah berfiman,   
Artinya : “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka.”[QS. Ali Imran (03): 159] 
Juga firman Allah, 
Artinya : “sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, Amat belas kasihan lagi Penyayang terhadap orang-orang mukmin.”[QS. At-Taubah (09) : 128] 
Rasulullah Bersabda
عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ الْحَكَمِ السُّلَمِيِّ قَالَ بَيْنَا أَنَا أُصَلِّي مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ عَطَسَ رَجُلٌ مِنْ الْقَوْمِ فَقُلْتُ يَرْحَمُكَ اللَّهُ فَرَمَانِي الْقَوْمُ بِأَبْصَارِهِمْ فَقُلْتُ وَا ثُكْلَ أُمِّيَاهْ مَا شَأْنُكُمْ تَنْظُرُونَ إِلَيَّ فَجَعَلُوا يَضْرِبُونَ بِأَيْدِيهِمْ عَلَى أَفْخَاذِهِمْ فَلَمَّا رَأَيْتُهُمْ يُصَمِّتُونَنِي لَكِنِّي سَكَتُّ فَلَمَّا صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبِأَبِي هُوَ وَأُمِّي مَا رَأَيْتُ مُعَلِّمًا قَبْلَهُ وَلَا بَعْدَهُ أَحْسَنَ تَعْلِيمًا مِنْهُ فَوَاللَّهِ مَا كَهَرَنِي وَلَا ضَرَبَنِي وَلَا شَتَمَنِي قَالَ إِنَّ هَذِهِ الصَّلَاةَ لَا يَصْلُحُ فِيهَا شَيْءٌ مِنْ كَلَامِ النَّاسِ إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ….

Artinya : “Dari Mu’awiyah ibn Hakam as-Silmiy, Katanya: Ketika saya salat bersama Rasulullah saw., seorang dari jama’ah bersin maka aku katakan yarhamukallâh. Orang-orang mencela saya dengan pandangan mereka, saya berkata: Celaka, kenapa kalian memandangiku? Mereka memukul paha dengan tangan mereka, ketika saya memandang mereka, mereka menyuruh saya diam dan saya diam. Setelah Rasul saw. selesai salat (aku bersumpah) demi Ayah dan Ibuku (sebagai tebusannya), saya tidak pernah melihat guru sebelumnya dan sesudahnya yang lebih baik pengajarannya daripada beliau. Demi Allah beliau tidak membentak, tidak memukul dan tidak mencela saya. Rasulullah saw. (hanya) bersabda: Sesungguhnya salat ini tidak boleh di dalamnya sesuatu dari pembicaraan manusia. Ia hanya tasbîh, takbîr dan membaca Alquran. ( HR. Muslim)

An-Nawâwi dalam syarahnya mengatakan hadis ini menunjukkan keagungan perangai Rasulullah saw., dengan memiliki sikap lemah lembut dan mengasihi orang bodoh (yang belum mengetahui tata cara salat). Ini juga perintah agar pendidik berperilaku sebagaimana Rasulullah saw. dalam mendidik. 

Inilah pentingnya metode lemah lembut dalam pendidikan, karena materi pelajaran yang disampaikan pendidik dapat membentuk kepribadian peserta didik. Dengan sikap lemah lembut yang ditampilkan pendidik, peserta didik akan terdorong untuk akrab dengan pendidik dalam upaya pembentukan kepribadian.
Itulah sebabnya Rasulullah SAW memperlakukan semua muridnya dengan penuh kasih sayang, lemah-lembut, dan santun. 
  Perkataan kotor, cacian, dan memperolok-olok orang lain merupakan tindakan yang tidak disukai, perangai buruk yang harus dihindari, lebih-lebih oleh seorang pendidik yang menjadi teladan. Jika seorang pendidik melakukannya walaupun hanya secara eksplisit, maka hal itu merupakan aib besar yang mencederai dunia pendidikan. Akibatnya sangat berpengaruh buruk pada anak didiknya.
Allah SWT melarang orang-orang beriman melakukan perbuatan saling mengolok-olok, menggunjing, dan memberi gelar yang buruk,
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.”[QS. Al-Hujarat (49): 11]
Nabi Muhammad SAW mengecam keras sikap mencaci-maki, berkata kotor, dan mengumpat. Dari Abdullah Ibnu Mas’ud, ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Mencaci-maki seorang muslim adalah perbuatan fasik dan membunuhnya adalah kafir.” (HR. Bukhari).
Dari Aisyah ra, ia berkata, “Rasulullah tidak pernah berbicara terburu-buru seperti gaya bicara kalian. Beliau berbicara dengan jelas dan rinci serta membuat para pendengarnya gampang menyerap apa yang dikatakannya.” (HR. Tirmidzi)

Maksud terburu-buru adalah mengungkapkan kata dengan berturut-turut dan cepat. Artinya bahwa Rasulullah tidak pernah berbicara terburu-buru dan cepat, karena hal itu membuat samar bagi orang yang mendengar. Sedangkan maksud rinci adalah menjelaskan kata perkata, bagian perbagian dengan jelas. 
Pembicaraan yang tidak tasyadduq, tasyadduq berarti berbicara dengan panjang lebar, tanpa hati-hati dan kendali. Ada yang mengatakan bahwa tasyadduq merupakan sikap bicara yang berlebihan.
Islam memiliki cara dan metode dalam berdakwah sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi. Tentunya hal itu tidak lepas dari bimbingan syari’at. Terkadang dakwah harus disampaikan dengan sikap lemah lembut dan terkadang dengan sikap keras, tegas, dan lugas. Namun sikap yang kedua ini sering dianggap sebagai sikap yang salah dan tidak mengandung hikmah. Bahkan terkadang dianggap dapat menimbulkan akibat yang fatal bagi dakwah itu sendiri. Sehingga muncul protes dari berbagai pihak ketika salah seorang da’i bersikap keras, tegas dan lugas dalam dakwahnya.
Terlalu banyak bicara dan berlebihan dalam mengeluarkan kata-kata, adalah sesuatu yang tidak disukai dalam agama dan tidak rasional, karena hal itu terkesan membanggakan diri sendiri dan merendahkan orang lain (karena menurutnya mereka lebih sedikit kefasihannya dan kemahirannya disbanding dirinya). 
Fenomena ini tampak ketika salah seorang Ahlus Sunnah berdakwah kepada sunnah dan membela Ahlus Sunnah sekaligus membantah bid’ah dan ahlul bid’ah dengan tegas. Maka muncul berbagai macam protes dari berbagai kelompok dakwah yang ada. Mereka menganggap bahwa sikap keras, tegas, dan lugas dalam dakwah tidak mencerminkan akhlak mulia karena mengandung kezhaliman terhadap pihak lain dan menyebabkan umat lari dari seruan dakwah. Anggapan mereka ini timbul dari prinsip dakwah mereka yang bathil berupa semboyan yang mengajak kepada perasatuan kaum Muslimin walaupun di atas kebathilan. Setiap hal yang berakibat memecah-belah kaum Muslimin harus dijauhkan dari dakwah. Fakta ini sering memunculkan di tengah-tengah dakwah mereka sikap basa-basi, tidak terus terang dan lemah lembut yang bukan pada tempatnya. Justru keberadaan dakwah mereka beserta segala sikap yang menyimpang itu menambah kekaburan bagi kaum Muslimin dalam menilai Al Haq. Sehingga banyak kaum Muslimin tak bisa membedakan antara yang haq dan yang bathil serta tak sedikit pula diantara mereka yang menyangka bahwa yang haq itu adalah bathil dan yang bathil itu adalah haq. Lalu bagaimana sebenarnya Islam berbicara tentang sikap keras, tegas, dan lugas dalam dakwah? Untuk menjawab pertanyaan ini marilah kita lihat nash-nash Al Qur’an dan As Sunnah serta beberapa penjelasan para ulama dalam masalah ini.
Nash Al Quran Dan As Sunnah Serta Penjelasan Para Ulama Tentang Sikap Keras Ketika Pengharaman Allah Dilanggar Dan Ketika Hukum Had Ditegakkan:
Artinya : “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir .”(QS. An Nur [24]: 2) 
 
Begitulah cara Rasulullah dalam mengajar kadang beliau melembutkan suaranya dan kadang juga beliau mengeraskan suaranya ketika ada kemungkaran.












Title : Tawadhu dan Lemah Lembut dalam Mengajar
Description :             A. Tawadhu’ dalam Mengajar      Rendah hati merupakan bagian dari sifat mulia, yang dapat mengantarkan pelakun...

0 Response to "Tawadhu dan Lemah Lembut dalam Mengajar"

Posting Komentar