Hukum Muzara'ah dan Al-Qardhu


BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Manusia dijadikan Allah SWT sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan antara satuu dengan yang lain. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia harus berusaha mencari karunia Allah yang ada dimuka bumi ini sebagai sumber ekonomi.
dalam kehidupan sosial, Nabi Muhammad mengajarkan kepada kita semua tentang bermuamalah agar terjadi kerukunan antar umat serta memberikan keuntungan bersama.
Dalam pembahasan kali ini, pemakalah ingin membahas dua diantara muamalah yang diajarkan Nabi Muhammad yaitu Muzara’ah dan Al-Qardhu. Karena di dalam pembahasan ini terdapat suatu hikmah untuk kehidupan sosial.

B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, rumusan masalah yang muncul adalah:
1. Apa pengertian Muzara’ah, dan Al-Qardhu?
2. Apa hukum Muzara’ah, dan Al-Qardhu beserta landasan hukumnya?
3. Apa yang berkaitan dengan Muzara’ah, dan Al-Qardhu baik

rukun, syarat maupun tata caranya?

C.    Tujuan
Dari rumusan masalah di atas, tujuan pembuatan makalah ini adalah:
1. Mengetahui pengertian Muzara’ah, dan Al-Qardhu,
2. Mengetahui hukum Muzara’ah, dan Al-Qardhu beserta landasan hukumnya, dan
3. Mengetahui semua yang berkaitan dengan Muzara’ah, dan Al-Qardhu baik rukun, syarat maupun tata caranya.


BAB II
PEMBAHASAN

I. Hukum Muzara’ah
A. Pengertian Muzara’ah
Secara etimologi muzara’ah bermakna akad transaksi pengelolaan tanah dengan konpensasi sebagai buah atau tanaman yang dihasilkannya. Secara istilah para ahli fiqih, muzara’ah adalah menyerahkan tanah kepada orang yang mampu bercocok tanam, dengan ketentuan ia mendapatkan sebagian dari hasilnya, seperti setengah,sepertiga, lebih banyak, atau lebih sedikit tergantung kesepakatan kedua belah pihak.

B. Landasan Syariat Muzara’ah
Muzara’ah merupakan bentuk kerja sama antara pekerja dengan pemilik tanah. Bisa jadi si pekerja mahir bercocok tanam.Tetapi tidak memiliki lahan pertanian; dan sebaliknya, banyak pemilik tanah tetapi tidak mampu bercocok tanam.  Karena itu islam mensyariatkan muzara’ah sebagai bentuk kasih sayang bagi kedua pihak.
Rasulullah saw. dan para sahabat setelahnya  mempraktikkan akad muzara’ah, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abas ra. Bahwa Rasulullah saw. mempekerjakan penduduk Khaibar dengan imbalan separuh tanaman atau buah yang dihasilkan dari perkebunannya.
Muhammad Baqir bin Ali bin Husain ra. Berkata,, “Tidak ada satu pun keluarga kaum muhajirin di madinah yang tidak melakukan muzara’ah dengan sepertiga atau setengah dari penghasilannya. Ali bin Abu Thalib, Sa’ad bin Malik, Abdullah bin Mas’ud, Umar bin Abdul Azis, Qasim, Urwah, keluarga Abu Bakar, Keluarga Umar, dan Ibnu Sirin, semua melakukan Muzara’ah. ”(h.r. Bukhari).
C. Hukumnya Muzara’ah
Muzara’ah diperbolehkan sebagian besar para sahabat, tabi’in, dan para imam, serta tidak diperbolehkan sebagian yang lain. Dalil orang-orang yang membolehkannya ialah muamalah Rasulullah saw dengan penduduk khaibar dan mereka mendapatkan setengah dari hasil tanah khaibar.  Imam Al-Bukhari meriwayatkan bahwa Rasulullah saw mempekerjakan orang-orang khaibar di tanah khaibar dan mereka mendapat separoh dari tanaman atau buah-buahan yang dihasilkannya. Ketika itu Rasulullah saw member istri-istrinya sebanyak seratus wasaq  (delapan puluh wasaq kurma dan dua puluh wasaq sya’ir).
Rasulullah s.a.w. bersabda sebagai berikut:

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم (من كانت له أرض فليزرعها أو ليمنحها أخاه فإن أبى فليمسك أرضه )

Artinya: “Dari Abu Hurairah ra. Berkata: Bersabda Rasulullah Saw (barangsiapa yang memiliki tanah maka hendaklah ditanami atau diberikan faedahnya kepada saudaranya jika ia tidak mau maka boleh ditahan saja tanah itu.” (Hadits Riwayat Muslim)

مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ فَلْيَزْرَعُهَا فَإِنْ لَمْ يَزْرَعْهَا فَلْيَزْرَعْهَا أَخَاهُ

Artinya:“Barang siapa yang mempunyai tanah, hendaklah ia menanaminya atau hendaklah ia menyuruh saudaranya untuk menanaminya.” (Hadits Riwayat Bukhari).

Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Raasulullah SAW pernah memberikan tanah Khaibar kepada penduduknya untuk digarap dengan imbalan pembagian hasil buah-buahan dan tanaman.
Dari beberapa hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim di atas, bahwa bagi hasil dengan sistem muzara’ah itu dibolehkan.


D. Rukun dan Syarat Muzara’ah
Menurut Hanafiah rukun muzara’ah  ialah “akad, yaitu ijab dan kabul antara pemilik dan pekerja, secara rinci rukun-rukunya yaitu tanah, perbuatan pekerja, modal dan alat-alat untuk menanam”.

1. Rukun-rukun Muzara’ah
Menurut jamhur ulama ada empat rukun dalam muzara’ah:
a. Pemilik tanah
b. Petani penggarap
c. Objek muzaraah (lahan yang digarap)
d. Ijab dan qabul secara lisan maupun tulisan

2. Syarat-syarat Muzara’ah
Sementara syarat-syaratnya sebagai berikut:
a. Syarat bertalian dengan ‘aqidain, yaitu harus berakal.
b. Syarat yang berkaitan dengan tanaman, yaitu disyaratkan adanya penentuan macam apa         saja yang ditanam.
c. Hal yang berkaitan dengan perolehan hasil tanaman, yaitu bagian masing-masing harus disebutkan jumlahnya (persentasenya), hasil adalah milik bersama.
d. Hal yang berhubungan dengan tanah yang akan ditanami seperti lokasi tanah dan batas tanah.
e. Hal yang berkaitan dengan waktu dan syarat-syaratnya.
f. Hal yang berkaitan dengan alat-alat yang digunakan dalam bercocok tanam muzara’ah.

Menurut jumhur ulama (yang membolehkan akad muzara’ah) apabila akad telah memenuhi rukun dan syarat, maka akibat hukumnya adalah:

a. Petani bertanggung jawab mengeluarkan biaya benih dan pemeliharaan pertanian tersebut
b. Biaya pertanian seperti pupuk, biaya perairan, serta biaya pembersihan tanaman, ditanggung oleh petani dan pemilik lahan sesuai dengan persentase bagian masing-masing.
c. Hasil panen dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama
d. Pengairan dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan bersama dan apabila tidak ada kesepakatan, berlaku kebiasaan ditempat masing-masing.
e. Apabila salah seorang meninggal dunia sebelum panen, maka akad tetap berlaku sampai panen dan yang meninggal diwakili oleh ahli warisnya. Lebih lanjut, akad itu dapat dipertimbangkan oleh ahli waris, apakah akan diteruskan atau tidak.

E. Implikasi atau Dampak dari Sistem Muzara’ah

Diterapkannya bagi hasil sistem muzara’ah berdampak pada sektor pertumbuhan sosial ekonomi, seperti:
a. Adanya rasa saling tolong-menolong atau saling membutuhkan antara pihak-pihak yang bekerjasama.
b. Dapat menambah atau meningkatkan penghasilan atau ekonomi petani penggarap maupun pemilik tanah.
c. Dapat mengurangi pengangguran.
d. Meningkatkan produksi pertanian dalam negeri.
e. Dapat mendorong pengembangan sektor riil yang menopong pertumbuhan ekonomi secara makro.

F.   Berakhirnya Muzara’ah
Muzara’ah berakhir karena beberapa hal sebagai berikiut:
a. Jika pekerja melarikan diri, dalam kasus ini pemilik tanah boleh membatalkan transaksi berdasarkan pendapat yang mengkategorikannya sebagai transaksi boleh (tidak mengikat). Jika berdasarkan pendapat yang mengkategorikannya transaksi yang mengikat, seorang hakim memperkerjakan orang lain yang menggantikannya.
b. Pekerja tidak mampu bekerja. Dalam hal ini, pemilik lahan boleh memperkerjakan orang lain yang menggantikannya dan upah menjadi haknya karena ia mengerjakan pekerjaan.
c. Jika salah satu dari pihak meninggal dunia atau gila, berdasarkan pendapat yang mengkategorikannya sebagai transaksi yang mengikat, maka ahli waris atau walinya yang menggantikan posisinya.
d. Adanya kesepakatan kedua belah pihak untuk mengakhiri dengan kerelaan.

G. Keutamaan Muzara’ah
Al-Qurthubi berkata, “Al-Muzara’ah hukumnya adalah fardhu kifayah”. Seorang penguasa harus memaksa rakyatnya untuk melakukannya dan menanam pepohonan termasuk dalam pengertian ini. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Anas bin Malik ra. Bahwa Rasulullah saw. bersbda,
“Tidaklah seorang muslim yang menyemai suatu benih atau menanam tanaman, kemudian burung atau binatang ternak memakannya, melainkan bernilai sedekah baginya.”
Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Aisya ra. Bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Carilah rezeki dari celah-celah bumi.”
II. Hukum Al-qardhu (Pinjaman)
A. Pengertian Al-qardhu (Pinjaman)

Al-Qardhu menurut bahasa ialah potongan, sedangkan menurut syar’i ialah menyerahkan uang kepada orang yang bisa memanfaatkannya, kemudian ia meminta pengembaliannya sebesar uang tersebut.
Secara umum pinjaman merupakan pengalihan hak milik harta atas harta. dimana pengalihan tersebut merupakan kaidah dari al-qardh. Qardh secara bahasa, bermakna Al-Qath’u yang berarti memotong. Ini termasuk penggunaan ism masdar untuk menggantikan ism maf`’ul. Harta yang disodorkan kepada orang yang berhutang disebut Qardh, karena merupakan potongan dari harta orang yang memberikan hutang. Kemudian kata itu digunakan sebagai bahasa kiasan dalam keseharian yang berarti pinjam meminjam antar sesama.


Menurut Hukum Syara’, para ahli fiqh mendefinisikan Qardh sebagai berikut :
1. Menurut pengikut Madzhab Hanafi, Ibn Abidin mengatakan bahwa qardh adalah suatu pinjaman atas apa yang dimiliki satu orang lalu diberikan kepada yang lain kemudian dikembalikan dalam kepunyaannya dalam baik hati.
2. Menurut Madzhab Maliki, Qardh adalah Pembayaran dari sesuatu yang berharga untuk pembayaran kembali tidak berbeda atau setimpal.
3. Menurut Madzhab Hanbali, Qardh adalah pembayaran uang ke seseorang siapa yang akan memperoleh manfaat dengan itu dan kembalian sesuai dengan padanannya.
4. Menurut Madzhab Syafi’i, Qardh adalah Memindahkan kepemilikan sesuatu kepada seseorang, disajikan ia perlu membayar kembali kepadanya.

Dilihat dari definisi diatas, maka pinjaman dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu pinjaman seorang hamba untuk Tuhan-Nya dan pinjaman seorang muslim untuk saudaranya. Pinjaman seorang muslim untuk Tuhannya yaitu pinjaman yang diberikan untuk membantu saudaranya tanpa mengharap kembalinya barang tersebut karena semata-mata untuk mengharapkan balasan di akhirat nanti. Hal ini mencakup infaq untuk berjihad, infaq untuk anak-anak yatim, infaq untuk orang-orang jompo, dan infaq untuk orang-orang miskin. Sedangkan pinjaman seorang muslim untuk saudaranya adalah pinjaman yang sering kita lihat didalam kehidupan bermasyarakat, yang mana seseorang meminjam dari temannya karena didorong oleh adanya suatu kebutuhan dengan ketentuan mengganti/mengembalikan pinjaman tersebut.
B. Tinjauan Fiqih Muamalah Terhadap Al-Qardha (dana talangan)
a. Aspek Al-Qur’an
1. Al-Baqarah : 245
Artinya “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan” (Al-Baqarah : 245).

2. Al-Maidah : 2
“…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (Al-Maidah : 2)

3. Al-Hadid ayat 11.
“ Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipatgandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak” (al-Hadid ayat 11)

b. Aspek As-Sunnah
Dari Anas ra, dia berkata, Rasulullah SAW bersabda :
”Pada malam peristiwa Isra’ aku melihat di pintu surga tertulis ‘shadaqoh (akan diganti) dengan 10 kali lipat, sedangkan Qardh dengan 18 kali lipat, aku berkata : “Wahai jibril, mengapa Qardh lebih utama dari shadaqoh?’ ia menjawab “karena ketika meminta, peminta tersebut memiliki sesuatu, sementara ketika berutang, orang tersebut tidak berutang kecuali karena kebutuhan”. (HR. Ibnu Majah dan Baihaqi dari Abas bin Malik ra, Thabrani dan Baihaqi meriwayatkan hadits serupa dari Abu Umamah ra).
Dari Ibnu Mas`ud meriwatkan bahwa nabi Muhammad SAW bersabda :
“bukan seorang muslim (mereka) yang meminjamkan muslim (lainnya) dua kali kecuali yang satunya adalah ( senilai ) shodaqoh”. (HR Ibnu Majah)

c. Aspek Ijma’

Secara ijma’ juga dinyatakan bahwa Qardh diperbolehkan. Qardh bersifat mandub (dianjurkan) bagi muqridh (orang yang mengutangi) dan mubah bagi muqtaridh (orang yang berutang).
Madzhab Hanafi berpendapat, Qardh dibenarkan pada harta yang memiliki kesepadanan, yaitu harta yang perbedaan nilainya tidak meyolok, seperti barang-barang yang ditakar, ditimbang, biji-bijian yang memiliki ukuran serupa seperti kelapa, telur. Tidak diperbolehkan melakukan qardh atas harta yang tidak memiliki kesepadanan, baik yang bernilai seperti binatang, kayu dan agrarian, dan harta biji-bijian yang memiliki perbedaan menyolok, karena tidak mungkin mengembalikan dengan semisalnya. Karena menurut golongan ini, bahwa pinjam meminjam dengan sesuatu yang tidak dapat digantikan dengan yang serupa tidak diperbolehkan.
Hak kepemilikan dalam Qardh menurut Abu Hanifah dan Muhammad – berlaku melalui Qabdh (penyerahan). Jika seseorang berhutang satu mud gandum dan sudah terjadi qabdh, maka ia berhak menggunakan dan mengembalikan dengan semisalnya meskipun muqridh meminta pengembalian gandum itu sendiri, karena gandum itu bukan lagi miliki muqridh. Yang menjadi tanggung jawab muqtaridh adalah gandum yang semisalnya dan bukan gandum yang telah diutangnya, meskipun Qardh itu berlangsung.
Madzhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali berpendapat, diperbolehkan melakukan qardh atas semua harta yang bisa diperjualbelikan objek salam, baik ditakar, atau ditimbang, seperti emas, perak dan makanan atau dari harta yang bernilai, seperti barang-barang dagangan, binatang dan sebagainya, seperti harta-harta, biji-bijian.
Madzhab Imam Malik menambahkan definisi ini dengan beberapa point berikut :
1. Hendaklah barang yang dipinjamkan mempunyai nilai jual, dengan begitu tidak dibenarkan meminjamkan sepotong api.
2. Orang yang meminjam harus mengembalikan barang pinjamannya.
3. Pengembalian pinjaman hendaklah diberikan sesudah menerima pinjamannya.
4. Hendaklah orang yang memberikan pinjaman tersebut berniat untuk memberikan manfaat kepada orang yang meminjam saja, dan tidak berniat untuk mendapatkan keuntungan pribadi maupun untuk mendapatkan keuntungan bersama.
5. Tidak boleh meminjamkan alat fital seorang sahaya perempuan kepada seseorang untuk dimanfaatkan
6. Hendaklah orang yang meminjam sesuatu harus menjamin bahwa ia akan mengembalikan pinjamannya, sehingga dalam hal ini masjid dan madrasah tidak bisa dipinjamkan.
Setelah kita memberikan pinjaman kepada seseorang (saudaranya), hendaklah pinjaman tersebut mengandung unsur kebaikan, begitu juga apabila pinjaman tersebut telah jatuh tempo. Ber-ihsan dalam menagih hutang (Qardh), adakalanya dilakukan dengan menganggapnya lunas, semua maupun sebagiannya, atau dengan mengundurkan waktu pembayaran tersebut yang telah jatuh tempo, ataupun dengan mengurangi pelbagai persyaratan pembayaran yang telah memberatkan. Semua itu sangat dianjurkan, Sebagaimana dalam Sabda Nabi SAW :

“Rahmat Allah tercurah atas siapa-siapa yang’mudah’ dalam membeli, ‘mudah’ dalam menjual, ‘mudah dalam membayar dan ‘mudah’ dalam menagih”

Rasulullah SAW, juga pernah menyebutkan tentang seorang laki-laki yang masa lalunya penuh dengan perbuatan dosa, yang ketika dihisab, ternyata tidak memiliki cacatan amal kebaikan yang pernah ia lakukan. Maka ditanyakan kepadanya, “Apakah anda tidak pernah melakukan kebaikan apapun ? “Tidak, “jawabnya. “Tetapi saya dahulu adalah seorang pemberi hutang, dan senantiasa mengingatkan kepada para pegawai saya : ‘Perlakukanlah yang mampu diantara para penghutang dengan perlakuan yang baik, dan undurkanlah waktu pembayaran bagi yang dalam kesusahan’. (Dalam versi lain : ‘….dan maafkanlah (yakni anggaplah hutangnya lunas) bagi yang dalam kesusahan’). Lalu Allah SWT pun menghapus dosa-dosanya dan mengampuninya.
Seandainya semua masyarakat mengetahui hal demikian, tidak akan terjadi hal-hal yang dapat mengakibatkan seseorang (pemilik harta) berbuat zhalim kepada orang yang membutuhkan bantuan. Apalagi ditengah kondisi krisis sekarang ini. Dimana, kita sebagai orang yang memiliki kelebihan harta hendaklah menolong saudara-saudara kita yang telah dilanda kesusahan dengan memberikan bantuan berupa pinjaman yang ihsan, bahkan tidak sekadar itu dapat memberikan Qardhul Hasan (menginfakkan, mensedeqahkan sebagaian hartanya tanpa mengaharapkan imbalan seperserpun tetapi hanya mengharap ridha Allah SWT). Tetapi kalau hanya memikirkan kehidupan duniawi manusia takluput akan kerakusan harta, yang diingat hanyalah berapa besar kelebihan dari kembalian harta yang telah dipinjamkan.





C. Hukum Qardh
Dalam panjelasan tiga aspek fiqh di atas, Para ulama telah menyepakati bahwa qardh boleh dilakukan, kesepakatan ulama ini didasari tabiat manusia yang tidak bisa hidup tanpa pertolongan dan bantuan saudaranya. Tidak seorangpun yang memiliki segala barang yang ia butuhkan. Oleh karena itu, pinjam-meminjam sudah menjadi satu bagian dari kehidupan didunia ini. Dan Islam adalah agama yang sangat memperhatikan segenap kebutuhan ummatnya.

a.  Rukun dan Syarat
(1)  Rukun :
Muqridh (pemilik barang)
Muqtaridh (yang mendapat barang atau peminjam)
Ijab qobul
Qardh (barang yang dipinjamkan)
(2) Syarat sah qardh :
Qardh atau barang yang dipinjamkan harus barang yang memiliki manfaat, tidak sah jika tidak ada kemungkinan pemanfaatan karena qardh adalah akad terhadap harta.
Akad qardh tidak dapat terlaksana kecuali dengan ijab dan qobul seperti halnya dalam jual beli.

b. Hal-Hal Yang Diperbolehkan Dalam Qardh
Mazhab Maliki berpendapat, hak kepemilikan dalam shadaqah dan ariyah berlangsung dengan transakasi, meski tidak menjadi qabdh atas harta. Muqtaridh diperbolehkan mengembalikan harta semisal yang telah dihutang dan boleh juga mengembalikan harta yang dihutang itu sendiri. Baik harta itu memiliki kesepadanan atau tidak, selama tidak mengalami perubahan; bertambah atau berkurang, jika berubah maka harus mengembalikan harta yang semisalnya.
Mazhab Syafi’I menurut riwayat yang paling shahih dan mazhab Hambali berpendapat, hak milik dalam qardh berlangsung dengan qabdh. Menurut Syafi’I muqtaridh mengembalikan harta yang semisal manakala harta yang dihutang adalah harta yang sepadan, karena yang demikian itu lebih dekat dengan kewajibannya dan jika yang dihutang adalah yang memiliki nilai, ia mengembalikan dengan bentuk yang semisal, karena Rasulullah saw telah berutang unta usia bikari lalu mengembalikan unta usia ruba’iyah, seraya berkata “sesunguhnya sebaik-baik kamu adalah yang paling baik dalam membayar utang”.
Hanabilah mengharuskan pemgembalian harta semisal jika yang dihutang adalah harta yang bisa ditakar dan ditimbang, sebagaimana kesepakatan di kalangan para ahli fiqih. Sedangkan jika obyek qardh bukan harta yang ditakar dan ditimbang, maka ada dua versi : harus dikembalikan nilainya pada saat terjadi qardh, atau harus dekembalikan semisalnya dengan kesamaan sifat yang mungkin.

c. Hukum Qardh Yang Mendatangkan Keuntungan
Mazhab Hanafi dalam pendapatnya yang paling kuat menyatakan bahwa qardh yang mendatangkan keuntungan hukumnya haram, jika keuntungan tersebut disepakati sebelumnya. Jika belum disepakati sebelumnya dan bukan merupakan tradisi yang biasa berlaku, maka tidak mengapa. Begitu juga hukum hadiah bagi muqridh. Jika ada dalam persyaratan maka dimakruhkan, kalau tidak maka tidak makruh.
Mazhab Maliki : tidak diperbolehkan mengambil manfaat dari harta muqtaridh, seperti menaiki untanya dan makan di rumahnya karena hutang tersebut dan bukan karena penghormatan dan semisalnya. Sebagaimana hadiah dari muqtaridh diharamkan bagi pemilik harta jika tujuannya untuk penundaan pembayaran hutang dan sebagainya,
Mazhab Syafi’I dan Hanabilah berpendapat bahwa qardh yang mendatangkan keuntungan tidak diperbolehkan, seperti mengutangkan seribu dinar dengan syarat rumah orang tersebut dijual kepadanya. Atau dengan syarat dikembalikan seribu dinar dari mutu yang lebih baik atau dikembaliakan lebih banyak dari itu. Karena Nabi SAW melarang hutang bersama jual beli.
 Dr. Wahbah Zuhaili jika seseorang mengutangkan kepada orang lain tanpa ada persyaratan tertentu, lalu orang tersebut membayarnya dari jenis yang lebih baik atau jenis yang lebih banyak, atau menjual rumahnya kepada pemberi hutang, diperbolehkan dan muqridh boleh mengambilnya berdasar pada riwayat Abi Rofii’bahwa ia berkata “ Rasulullah Saw pernah berutang unta seusia bikari kepada seseorang lalu Rasulullah mendapat unta sedekah. Lalu beliau menyuruh saya untuk membayar kepada orang tersebut seekor unta bikari. Saya berkata “ ya Rasul, saya tidak mendapati kecuali unta berusia Rubai’yah dari jenis yang bagus, Rasulullah bersabda “berikanlah kepadanya, sesungguhnya sebaik baik kamu adalah yang paling baik membayar hutang”.
Ringkasnya, Qardh diperbolehkan dengan dua syarat.
(1)   Tidak mendatangkan keuntungan. Jika keuntungan tersebut untuk muqridh, maka para ulama sudah bersepakat bahwa ia tidak diperbolehkan. Karena ada larangan dari syariat dan karena sudah keluar dari jalur kebajikan, jika untuk muqtaridh, maka diperbolehkan. Dan jika untuk mereka berdua, tidak boleh, kecuali jika sangat dibutuhkan. Akan tetapi ada perbedaan pendapat dalam mengartikan “sangat dibutuhkan”.
(2)   Tidak dibarengi denagan transaksi lain, seperti jual beli dan lainnya. Adapun hadiah dari pihak muqtaridh, maka menurut Malikiah tidak boleh diterima oleh Muqridh karena mengarah pada tanbahan atas pengunduran. Sedangkan Jumhur ulama membolehkan jika bukan merupakan kesepakatan. Sebagaimana diperbolehkan jika antara Muqridh dan Muqtaridh ada hubungan yang menjadi fakor pemberian hadiah dan bukan karena hutang tersebut.
Dari sini, menurut jumhur ahli fiqih, diperbolehkan melakukan qardh atas semua benda yang boleh diperjualbelikan kecuali manusia, dan tidak dibenarkan melakukan qardh atas manfaat/jasa, berbeda dengan pendapat Ibnu Taimiyah, seperti membantu memanen sehari dengan imbalan ia akan dibantu memenen sehari, atau menempoati rumah orang lain dengan imbalan orang tersebut menempati rumahnya.


BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
a. Muzara’ah bermakna akad transaksi pengelolaan tanah dengan konpensasi sebagai buah atau tanaman yang dihasilkannya. Sedangkan  Al-Qardhu menurut bahasa ialah potongan, sedangkan menurut syar’i ialah menyerahkan uang kepada orang yang bisa memanfaatkannya, kemudian ia meminta pengembaliannya sebesar uang tersebut.
b. Muzara’ah diperbolehkan sebagian besar para sahabat, tabi’in, dan para imam, serta tidak diperbolehkan sebagian yang lain. Dalil orang-orang yang membolehkannya ialah muamalah Rasulullah saw dengan penduduk khaibar dan mereka mendapatkan setengah dari hasil tanah khaibar. Sedangkan Al-Qardhu para ulama telah menyepakati bahwa qardh boleh dilakukan, kesepakatan ulama ini didasari tabiat manusia yang tidak bisa hidup tanpa pertolongan dan bantuan saudaranya. Tidak seorangpun yang memiliki segala barang yang ia butuhkan. Oleh karena itu, pinjam-meminjam sudah menjadi satu bagian dari kehidupan didunia ini. Dan Islam adalah agama yang sangat memperhatikan segenap kebutuhan ummatnya.
c. Menurut jamhur ulama ada empat rukun dalam muzara’ah:1. pemilik tanah, 2. petani penggarap,3. objek muzaraah (lahan yang digarap), 4. Ijab dan qabul secara lisan maupun tulisan. Sedangkan Rukun dalam Al-Qardhu yaitu: 1.Muqridh (pemilik barang), 2.Muqtaridh (yang mendapat barang atau peminjam), 3.Ijab qobul, 4.Qardh (barang yang dipinjamkan)
B. Saran
Semoga dengan adanya makalah ini dapat menjadi sedikit sumbangsih dalam ilmu pengetahuan kita dan sarana untuk lebih mendekatkan diri kepada Sang Kholiq. Saran dan kritik dari para pembaca sangat diharapkan penyusun demi peningkatan kualitas makalah ini.




DAFTAR PUSTAKA


Al-Jazairi,Abu Bakr. Ensiklopedi Muslim Minhajul Muslim. Jakarta: Darul Falah. 2000.

http://mul1rawan.wordpress.com/category/tinjauan-fiqh-muamalah-terhadap-pembiayaan-al-qardh-dana-talangan-pada-perbankan-syariah-di-indonesia/

https://www.google.com/muzaraah-dalam-ekonomi-islam.html

Kementerian Agama Republik Indonesia.Mushaf Al-Qur’an Dan Terjemahnya.Surabaya:PT Lentera Jaya Abadi.2011

Qur’an in Word Ver 1.3

Sabiq,Sayyid.Fiqih Sunah 3 .Jakarta: Al-I’tishom, 2012




Title : Hukum Muzara'ah dan Al-Qardhu
Description : BAB I PENDAHULUAN A.    Latar Belakang Manusia dijadikan Allah SWT sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan antara satuu den...

0 Response to "Hukum Muzara'ah dan Al-Qardhu"

Posting Komentar