A. Pengertian Tawakal
Kata
tawakal berasal dari kata tawakkala-yatawakkalu-tawakkalan yang
berarti berserah diri atau memasrahkan.[1] Menurut
Imam Al Ghazali tawakal adalah penyandaran hati hanya kepada wakil (yang
ditawakkali) semata yaitu Allah Swt. Menurut Abu Utsman al-Hiri tawakal adalah
merasa cukup bersama Allah Swt dengan menggantungkan diri kepada-Nya
Tawakal adalah menyerahkan urusan
kepada yang berkuasa menanganinya dengan
kepercayaan utuh, maksudnya ialah menyerahkan seluruh perkara kepada Allah,
bersandar pada kekuasaan-Nya dalam mengatur siklus alam semesta, mendahulukan
perbuatan-Nya ketimbang perbuatan kita, dan mengutamakan kehendak-Nya di atas
keinginan kita.[2]
Tawakal harus dilakukan setelah ada
usaha (ikhtiar) dan kerja keras
dengan mengerahkan segala kekuatan yang dimiliki. Jika usaha telah dilakukan
dan berbagai cara telah ditempuh, maka hasil akhirnya diserahkan sepenuhnya
kepada Allah SWT. Serahkan semua urusan hanya kepada Allah SWT, jangan
menggantungkan sesuatu kepada selain Allah. Hanya dialah yang mempunyai
kekuasaan atas segala sesuatu. Segala usaha dan kerja keras tidak akan berarti
apa-apa jika Allah tidak menghendaki keberhasilan atas usaha itu.
Manusia
boleh berharap dan harus terus berusaha dengan segenap daya upaya, namun jangan
lupa bahwa manusia tidak dapat menentukan suatu usaha itu berhasil atau gagal.
Hanya Allah yang Mahakuasa atas segalanya, maka serahkan semua keputusan hasil
usaha itu kepada-Nya. Biarlah Allah yang menentukan, mana yang terbaik buat
hamba-Nya. Mengapa Allah menyerukan agar manusia tawakal ? ketahuilah bahwa dalam beberapa ayat Allah memerintahkan
kepada manusia agar mereka bertawakal setelah melakukan usaha. Dalam surat
Al-Furqan ayat 58, Allah berfirman,
ö@2uqs?ur n?tã ÇcyÛø9$# Ï%©!$# w ßNqßJt ôxÎm7yur ¾ÍnÏôJpt¿2 4 4xÿ2ur ¾ÏmÎ/ É>qçRäÎ/ ¾ÍnÏ$t6Ïã #·Î7yz ÇÎÑÈ
Artinya : “Dan bertawakkallah kepada Allah yang
hidup (kekal) yang tidak mati, dan bertasbihlah dengan memuji-Nya. dan cukuplah
Dia Maha mengetahui dosa-dosa hamba-hamba-Nya.”[Q.S. Al-Furqan (25): 58]
Ayat
ini menjelaskan bahwa bertawakal itu hanya kepada Allah SWT dzat yang tidak
mati dan abadi selama-lamanya.
Dalam
ayat yang lain disebutkan :
$yJ¯RÎ) cqãZÏB÷sßJø9$# tûïÏ%©!$# #sÎ) tÏ.è ª!$# ôMn=Å_ur öNåkæ5qè=è% #sÎ)ur ôMuÎ=è? öNÍkön=tã ¼çmçG»t#uä öNåkøEy#y $YZ»yJÎ) 4n?tãur óOÎgÎn/u tbqè=©.uqtGt ÇËÈ
Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang
beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah[595] gemetarlah hati mereka,
dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan
hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.”[Q.S. Al Anfal (8): 2]
Ayat
ini menjelaskan tentang tanda-tanda orang-orang yang sempurna imannya. Diantara
tanda-tanda orang yang sempurna imannya adalah tawakal kepada Allah SWT. [3] Dalam
sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Ibnu Abbas juga
disebutkan bahwa perkataan terakhir yang diucapkan Nabi Ibrahim ketika akan
dimasukkan ke kobaran api adalah kalimat “Hasbunallah
wa ni’ma al wakil” cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah
sebaik-baik pelindung.
Sesungguhnya
tawakal adalah salah satu sarana yang bisa mendatangkan kebaikan serta
menghindari kerusakan. Dengan bertawakal kita akan selalu merasa senang,
bahagia dan menang. Berbeda dengan orang yang tidak bertawakal, ia akan kecewa
karena tidak mendapatkan sesuatu yang diinginkan, dan menggerutu karena hasil
yang diperoleh tidak sesuai dengan harapan. Inilah salah satu dampak negatif
dari orang yang tidak bertawakal
Dari
penjelasan di atas, jelaslah bahwa tawakal harus dilakukan sesuai dengan aturan
yang benar, sehingga tidak ada penyimpangan akidah dan keyakinan dari perbuatan
tawakal yang salah kaprah.
Perhatikan
firman Allah SWT, berikut ini :
bÎ) ãNä.÷ÝÇZt ª!$# xsù |=Ï9$xî öNä3s9 ( bÎ)ur öNä3ø9äøs `yJsù #s Ï%©!$# Nä.çÝÇZt .`ÏiB ¾ÍnÏ÷èt/ 3 n?tãur «!$# È@©.uqtGuù=sù tbqãYÏB÷sßJø9$# ÇÊÏÉÈ
Artinya : “Jika Allah menolong kamu,
Maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allah membiarkan kamu
(tidak memberi pertolongan), Maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu
(selain) dari Allah sesudah itu? karena itu hendaklah kepada Allah saja
orang-orang mukmin bertawakkal.”[Q.S. Ali ‘Imran (3): 160]
Menyerahkan
urusan terbagi menjadi dua macam, yaitu pasrah dan tawakal. Penyerahan urusan
pun bisa dilihat dari dua sisi. Pertama, Allah SWT. Memasrahi manusia untuk
memelihara apa yang diserahkan kepada mereka. Kedua, manusia mengangkat Allah
sebagai wakil dan bersandar kepada-Nya.[4]
Penyerahan diri seorang hamba bisa
diwujudkan dengan menyandarkan semua urusan kepada Allah Swt. Dan tunduk di
bawah ketetapan dan pengaturan-Nya. Karena itu, ada yang memaknai tawakal dengan menafikan diri dan
memfokuskan hati untuk beribadah.
Allah Swt. Berfirman :
tA$s% Èbxã_u z`ÏB tûïÏ%©!$# cqèù$ss zNyè÷Rr& ª!$# $yJÍkön=tã (#qè=äz÷$# ãNÍkön=tã U$t6ø9$# #sÎ*sù çnqßJçGù=yzy öNä3¯RÎ*sù tbqç7Î=»xî 4 n?tãur «!$# (#þqè=©.uqtGsù bÎ) OçGYä. tûüÏZÏB÷sB ÇËÌÈ
Artinya : “berkatalah dua orang diantara
orang-orang yang takut (kepada Allah) yang Allah telah memberi nikmat atas
keduanya: "Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu, Maka
bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. dan hanya kepada Allah
hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman”.[Q.S.
Al-Ma’idah (5): 23][5]
B.
Hakikat Tawakal
Tawakal merupakan keyakinan tertinggi,
sekaligus kondisi spiritual terbaik orang-orang yang dekat dengan Allah.
Sebagaimana Allah berfirman :
…… ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tû,Î#Ïj.uqtGßJø9$# ÇÊÎÒÈ
Arinya
: “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”. [Q.S.
Al-Imran (3): 159]
Menurut
beberapa sahabat dan tabiin, tawakal adalah
kaidah tauhid dan poros semua
perkara. Seorang ulama salaf bermimpi bertemu dengan orang saleh dari Bashrah
yang sudah wafat. Ia lantas bertanya, “Apa yang Allah lakukan kepadamu ?”
“Dia
mengampuni dan memasukkanku ke surga,” jawab orang saleh tadi.
“Perbuatan
apa yang menurutmu paling utama ?”
“Tawakal
dan pendek angan-angan, tanamkan keduanya dalam dirimu.”
Abu Darda berkata, “Puncak iman dan ikhlas adalah tawakal
dan berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Mulia lagi Maha Tinggi.”
Abu Muhammad Sahal bertutur, “Tak ada derajat yang lebih
tinggi dari tawakal. Para nabi telah mereguk hakikatnya, shiddiqin dan syuhada
hanya mengecap sisanya. Maka, orang yang sedikit saja berpaut dengan tawakal,
berarti ia termasuk golongan para shiddiqin
dan syuhada’.”
Luqman berwasiat kepada anaknya, “Salah
satu tanda keimanan adalah bertawakal kepada Allah SWT. Karena tawakal dapat
membuat seorang hamba mencintai-Nya. Adapun berserah diri adalah salah satu
tanda hidayah. Dengan hidayah, seseorang diridai.”
Ia lalu menambahkan, “Orang yang
bertawakal kepada Allah, tunduk dibawah ketentuan-Nya, dan berserah diri serta
rida dengan takdir-Nya, berarti dia telah memegang teguh agama, menyatukan
kedua tangan berikut kakinya untuk melakukan kebaikan, serta berperilaku baik
yang akan berdampak baik bagi urusannya.”
Abu Muhammad Sahal berkata, “Semua ilmu
adalah pintu menuju penghambaan. Semua penghambaan adalah pintu menuju wara’. Semua wara’ adalah pintu menuju zuhud.
Semua zuhud adalah pintu menuju tawakal. Tawakal tiada terbatas dan tiada berujung.”
Abu Yaqub al-Susi berkata, “Jangan memfitnah orang-orang
yang bertawakal kepada Allah, karena
mereka adalah orang-orang khusus yang diistimewakan oleh-Nya. Mereka merasa
tenteram bersama-Nya dan merasa cukup menjadikan-Nya sebagai pelindung sehingga
tak ada lagi huru-hara dunia yang bisa menganggu mereka.” Ia juga berkata,
“Orang yang mengecam sikap tawakal berarti mencemooh keimanan. Sebab, iman dan tawakal saling berkaitan. Siapa
yang mencintai orang yang bertawakal
pasti dicintai Allah. Pangkal tawakal
adalah menyadari bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Mulia lagi Maha Bijaksana.
Dia memberi dengan kemuliaan-Nya, dan menahan pemberian karena
kebijaksanaan-Nya. Dengan begitu, seorang hamba akan mulia dengan kemuliaan-Nya
dan rida terhadap keputusan-Nya.[6]
C. Keutamaan
Tawakal Kepada Allah
Tawakkal kepada
Allah ta’ala dalam segala urusan merupakan salah satu ibadah hati yang sangat
agung. Oleh karenanya, ia memiliki banyak keutamaan bagi pelakunya. Di antaranya
adalah sbagai berikut:
1.
Barangsiapa bertawakkal kepada
Allah ta’ala saja dengan sebenar-benarnya, niscaya Allah akan memberikan
kepadanya kecukupan dalam kebutuhan-kebutuhannya.
Hal ini sebagaimana
firman Allah ta’ala:
çmø%ãötur
ô`ÏB
ß]øym w Ü=Å¡tFøts 4 `tBur ö@©.uqtGt n?tã «!$# uqßgsù
ÿ¼çmç7ó¡ym
4
¨bÎ)
©!$#
à÷Î=»t/
¾ÍnÌøBr& 4 ôs% @yèy_
ª!$#
Èe@ä3Ï9
&äóÓx« #Yôs% ÇÌÈ
Artinya : “Dan
memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan Barangsiapa yang
bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.
Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya
Allah telah Mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.”[Q.S. Ath Thalaaq (65):
3]
2. Barangsiapa yang bertawakkal kepada
Allah, maka ia akan Mendapatkan kebaikan di dunia dan di akhirat dengan masuk
Surga.[7]
Hal ini
berdasarkan firman Allah ta’ala:
tûïÏ%©!$#ur (#rãy_$yd Îû
«!$#
.`ÏB
Ï÷èt/ $tB
(#qçHÍ>àß öNßg¨ZsÈhqt7ãYs9 Îû
$u÷R9$#
ZpuZ|¡ym ( ãô_V{ur ÍotÅzFy$# çt9ø.r& 4 öqs9 (#qçR%x. tbqßJn=ôèt ÇÍÊÈ tûïÏ%©!$#
(#rçy9|¹ 4n?tãur óOÎgÎn/u
tbqè=2uqtGt
ÇÍËÈ
Artinya : “Dan orang-orang
yang berhijrah karena Allah sesudah mereka dianiaya, pasti Kami akan memberikan
tempat yang bagus kepada mereka di dunia. dan Sesungguhnya pahala di akhirat
adalah lebih besar, kalau mereka mengetahui, (yaitu) orang-orang yang sabar dan
hanya kepada Tuhan saja mereka bertawakkal.[Q.S. An-Nahl (16): 41-42]
3. Barangsiapa bertawakkal kepada Allah dengan benar,
maka Allah akan memberikan kepadanya
pertolongan, keselamatan dan kemenangan dalam menghadapi musuh.
Ibnul Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah berkata: “Tawakal adalah
sebab yang paling utama yang bisa mempertahankan seorang hamba ketika ia tak
memiliki kekuatan dari serangan makhluk Allah lainnya yang menindas serta
memusuhinya, tawakal adalah sarana yang paling ampuh untuk menghadapi keadaan
seperti itu, karena ia telah menjadikan Allah pelindungnya atau yang memberinya
kecukupan, maka barang siapa yang menjadikan Allah pelindungnya serta yang
memberinya kecukupan maka musuhnya itu tak akan bisa mendatangkan bahaya
padanya.” (Lihat Bada-i’u Al-Fawa’id II/268).
D. Tujuan
Tawakal
Janganlah
bertawakal dengan tujuan supaya Allah menjaga harta, mewujudkan keinginan, dan
menggariskan jalan hidup yang baik bagi anda. Jangan pula bertujuan supaya
Allah mengubah ketentuan buruk yang sudah digariskan sejak zaman azali dan
mengubah sunnah-Nya yang berisi ujian dan cobaan bagi anda.
Allah
mengetahui tujuan di balik tawakal anda. Jika anda bertawakal dengan
alasan-alasan diatas, anda sejatinya telah melakukan dosa dan harus betaubat
karena tawakal anda mengandung maksiat. Anda harus melatih jiwa agar sabar
dalam menjalani bahtera kehidupan, bagaimanapun keadaannya, dan anda wajib
mendidik hati agar meridai semua ketentuan-Nya.
Seseorang
berkata kepada Malik bin Anas, “Abu Abdullah, Aku meratap di sisi Ka’bah untuk
memohon ampun atas segala dosa dan aku bersumpah untuk tidak akan bermaksiat
lagi kepada-Nya di masa yang akan datang.”
“Bedebah!”
tukas Malik bin Anas. “Sumpah itu bisa membuatmu menjadi orang yang paling
berani bermaksiat kepada-Nya. Engkau meminta Allah agar tidak menjalankan
hukum-Nya kepadamu,” tambahnya.
Seorang
arif berkata, “Kala melihat kehendaknya terjadi, tak ada keraguan bagiku untuk
bertawakal dengan benar kepada penciptaku. Kuleburkan diriku dalam kehendaknya
yang terasa pahit getirnya kehidupan, karena aku mencintainya dan menghormati
ketentuannya kepada makhluk. Tidak ada kegetiran di balik takdirnya, sehingga
bibirku kelu untuk berkata, ‘Mengapa engkau takdirkan sesuatu yang tidak
menyenangkan? Mengapa aku tidak senang dengan takdirmu?’ dia Maha agung lagi
Maha luhur.”[8]
Orang-orang
yang mengenal Allah bertawakal karena mereka tahu bahwa Allah mencintai
hamba-hamba yang bertawakal, karena dia layak utuk dijadikan sandaran, dan
karena dia pantas untuk dipasrahi segala urusan. Ketika mereka merenungi
ayat-ayat berikut, mereka menyadari bahwa Allahlah pemelihara sejati dan
pelindung hakiki.
Allah berfirman :
y7¯=yèn=sù 88Í$s? uÙ÷èt/ $tB #yrqã øs9Î) 7,ͬ!$|Êur ¾ÏmÎ/ x8âô|¹ br& (#qä9qà)t Iwöqs9 tAÌRé& Ïmøn=tã î\x. ÷rr& uä!$y_ ¼çmyètB î7n=tB 4 !$yJ¯RÎ) |MRr& ÖÉtR 4 ª!$#ur 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« î@Å2ur ÇÊËÈ
Artinya
: “Maka boleh Jadi kamu hendak meninggalkan sebahagian dari apa yang diwahyukan
kepadamu dan sempit karenanya dadamu, karena khawatir bahwa mereka akan
mengatakan: "Mengapa tidak diturunkan kepadanya perbendaharaan (kekayaan)
atau datang bersama-sama dengan Dia seorang malaikat?" Sesungguhnya kamu
hanyalah seorang pemberi peringatan dan Allah pemelihara segala sesuatu.”[Q.S.
Hud (11): 12]
Allah
bersumpah bahwa dia Mahabenar, sehingga orang-orang yang mengenalnya bertawakal
karena malu kepadanya. Dalam kalbu mereka bersemayam keyakinan yang menghapus
bias-bias keraguan, memberangus bayang-bayang kebimbangan, dan mengokohkan kepercayaan
terhadap Allah.
Ada
orang yang bertawakal kepada Allah karena mengetahui semua hakikat ini. Ada
pula yang bertawakal dengan hanya mengetahui sebagiannya. Yang jelas, setiap
hamba bertawakal sesuai dengan kadar pengetahuan yang mereka peroleh dari
tanda-tanda yang diperlihatkan kepada mereka. Banyaknya tanda yang
diperlihatkan ini sesuai dengan kadar kedekatan si hamba kepada Allah. Kadar
kedekatan kepada Allah tergantung pada kadar pengetahuan si hamba tentang
tanda-tanda keberadaan Allah yang dipancarkan oleh alam raya. Dengan keluasan
ilmunya, Allah menganugerahkan pengetahuan sesuai dengan kadar perhatian para
hamba terhadapnya. Sehingga, penyaksian para hamba terhadap kedudukan dan
keadaannya merupakan balasan bagi hubungan yang mereka jalin dengan Allah.[9]
Ada
lagi orang yang bertawakal karena pasrah setelah melihat kemahaperkasaan dan
kemahakuasaannya. Ada yang bertawakal agar Allah menjaga anugerah yang
dimilkinya. Ada yang bertawakal supaya Allah memelihara dan melindungi sesuatu
yang dimilikinya. Ada yang bertawakal karena mengenalnya dengan pengetahuan
yang baik. Ada yang bertawakal karena merasa diperlakukan baik olehnya. Ada
yang berserah diri karena melihat bahwa Allah telah memberi dan menggariskan
nasib baik untuknya.
Ada
juga yang bertawakal karena mengesakan dan menyaksikan kemahaadaannya. Inilah
tawakal para wali dan para pecinta yang menyaksikan dan merasakan kedekatan
dengannya. Setiap insan pilihan memiliki derajat berbeda dalam wilayah tawakal,
karena tingkat penyaksian dan kedekatan mereka yang berbeda-beda. Yang
tertinggi adalah bertawakal karena mengangungkan dan memuliakan Allah. Yang
menengah adalah bertawakal karena rasa cinta dan takut padanya. Sedangkan yang
terendah adalah bertawakal untuk meraih cintanya.
E. Macam-macam
Tawakal
Tawakal kepada Allah ada dua macam, yakni
sebagai berikut:
1. Tawakal dalam
mencari kebutuhan dan keberuntungan duniawi, serta dalam menolak kemudharatan
dan kesulitan.
2. Tawakal dalam
meraih apa yang dicintai oleh Allah berupa iman, keyakinan, jihad, dan dakwah.
Diantara kedua macam tawakkal tersebut,
terdapat karunia yang tiada terhitung. Jika seorang hamba bertawakal dalam
meraih poin ke-2 ( keimanan dan keyakinan, jihad, dan dakwah) dengan
sebaik-baik tawakal maka Allah Azza wa jalla akan menjaminnya terhadap poin
pertama ( kebutuhan dunianya) dengan jaminan yang sempurna dan utuh. Jika
seorang hamba bertawakal dalam meraih keberuntungan duniawi atau dalam menolak
kesulitan dan bencana, ia pun akan dijamin oleh Allah ( dengan mendapatkan apa
yang diinginkannya itu), tapi ia tidak memperoleh poin yang kedua. ( keyakinan,
iman, dan jihad). Yang dicintai Allah.[10]
Jadi, tawakal yang paling baik ialah tawakal
dalam meraih atau mempertahankan hidayah dan tauhid dalam mengikuti
RasulluAllah serta berjihad memerangi kebatilan.
F. Contoh-contoh
Kesalahan dalam bertawakal
Dalam praktiknya,
banyak terjadi kerancuan dan penyimpangan dalam bertawakal. Di antaranya :
1. Memaknai
kepasrahan sebagai penyia-nyiaan. Yakni, membuang kesempatan dengan tidak berbuat
apa-apa, bahkan malah menganggap sikap diam sebagai bentuk kepasrahan dan
tawakal yang sempurn. Menyia-nyiakan itu hak Allah, sedangkan kepasrahan adalah
hak manusia.
2. Mengartikan
tawakal dengan kesantaian dan keengganan memikul beban, dengan meyakini bahwa
tindakan itu merupakan wujud nyata dari tawakal. Padahal, orang bertawakal
adalah hamba yang rajin bekerja. Tandanya, dia giat berusaha dan memanfaatkan
segala peluang yang terbentang di depan mata. Sementara, orang malas hanya
bekerja sebatas mencukupi kebutuhan hidup dan memenuhi tuntutan syariat saja.
3.
Menganggap sama antara mengabaikan peluang dan menutup peluang. Mengabaikan
peluang masih berada dalam wilayah tauhid, sedangkan menutup peluang sudah
berada dalam wilayah kekafiran.
4. Menganggap
sama antara keyakinan atas rahmat Allah SWT dan kepasrahan. Padahal, orang
menyakini rahmat Allah pasti melaksanakan perintah-Nya, baru kemudian
memasrahkan urusan hasil kepada-Nya.
5. Menganggap
sama antara ketentraman bersandar kepada Allah dengan bersandar kepada sesuatu
selain-Nya. Hanya orang cerdas yang bisa membedakan kedua jenis ketergantungan
ini.
6. Menganggap
sama antara rida kepada Allah atas semua perbuatan-Nya kepada makhluk dengan
keinginan untuk meraih rida-Nya. Ini adalah dua hal yang berbeda. Contohnya
perkataan Abu Sulaiman, “Aku mengharap mendapatkan setitik keridaan Allah.
Kalau sudah kudapatkan, aku tidak peduli lgi meskipun dimasukkan ke dalam api
neraka.”
7. Menganggap
sama antara pengetahuan tentang tawakal dengan kondisi orang yang bertawakal.
Banyak orang yang mengetahui pengertian, makna, serta hakikat tawakal, kemudian
menyangka dirinya sudah bertawakal. Padahal, pengetahuan tidaklah sama dengan
praktik.[11]
[1] Nakhrawie, AS, Keutamaan dan Rahasia Tawakal,
(Surabaya: Pustaka Media, 2013), 11
[2] Luqman
Junaidi, Terapi Tawakal, (Jakarta:
Ahsan Books, 2011), 15
[3] Nakhrawie,
AS, Keutamaan dan Rahasia Tawakal,
(Surabaya: Pustaka Media, 2013), 15
[5] Departemen
agama RI, Al-qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: CV Penerbit Diponegoro,
2005), 111
[6] Luqman
Junaidi, Terapi Tawakal, (Jakarta:
Ahsan Books, 2011), 47
[7] http://phairha.blogspot.com/2012/01/tasawuf-maqamat-tawakal.html
[8] Luqman
Junaidi, Terapi Tawakal, (Jakarta:
Ahsan Books, 2011), 51
[9] Luqman
Junaidi, Terapi Tawakal, (Jakarta:
Ahsan Books, 2011), 54
[10] http://phairha.blogspot.com/2012/01/tasawuf-maqamat-tawakal.html
[11] Luqman
Junaidi, Terapi Tawakal, (Jakarta:
Ahsan Books, 2011), 37
Title : Tawakal
Description : A. Pengertian Tawakal Kata tawakal berasal dari kata tawakkala-yatawakkalu-tawakkalan yang berarti berserah diri atau...
Description : A. Pengertian Tawakal Kata tawakal berasal dari kata tawakkala-yatawakkalu-tawakkalan yang berarti berserah diri atau...
0 Response to "Tawakal"
Posting Komentar