Minggu
26/12/2004 aku (Iwan Setiawan) beraktivitas sebagaimana anak pondok pesantren
Hidayatullah desa Nusa, kecamatan Lhoknga, Banda Aceh, NAD lainnya. Pagi itu
sedang asyiknya bercengkrama dengan teman-teman sambil sarapan, tiba-tiba salah
seorang temanku berteriak “gempa,,,gempa,,,” namun kami tidak menghiraukan
teriakan tersebut, karena terlena dengan perbincangan masing-masing dan
nikmatnya menu sarapan pagi.
Selesai
sarapan, aku pun melanjutkan kegiatan rutinitas mingguan lainnya, yaitu kerja
bakti pagi ini kami (santri dan ustadz) akan merenovasi ruang makan yang
material bangunannya sudah mulai dimakan usia. Aku bertugas mengangkat balok
dan triplek bekas ruang makan tersebut dan mengumpulkannya ke dapur umum untuk
dijadikan kayu bakar. Sedang asyik-asyiknya menikmati kebersamaan bersama
teman-teman dan para ustadz, tiba-tiba bumi bergoyang dengan sangat kuatnya, aku yang pada saat itu sedang mengangkat
balok-balok bekas, spontan melempar balok tersebut dan lari menuju tempat
dimana teman-teman dan para ustadz berkumpul dan saling berpegangan. Selang
beberapa menit kemudian gempa pun semakin kuat, air kolam ikan yang ada di
halaman asrama berayun-ayun seperti
ayunan pohon kelapa di pinggir pantai, rasa cemas sekaligus takut menghantuiku
karena sebelumnya tidak pernah terjadi gempa sedahsyat ini, Subhanallah,,,.
Setelah gempa
berhenti kami melanjutkan kerja bakti yang sempat tertunda akibat gempat bumi
itu, aku pun melanjutkan tugasku mengangkat balok-balok bekas, sambil merenungi
apa yang sebenarnya barusan terjadi, ada apa? Apa yang akan terjadi?, Kenapa
kok tiba-tiba ada gempa yang kekuatannya begitu dahsyat di negeri yang dikenal
dengan sebutan “Serambi Makkah” ini. Aku masih terus bertanya-tanya dalam
benakku, tidak lama kemudian kami mendengar suara gemuruh yang semakin lama
semakin jelas suaranya dan kayaknya semakin mendekat suara gemuruh itu, kami
pun naik ke atas mesjid yang posisi bangunannya lebih tinggi dari yang lainnya,
dari pelantaran mesjid kami tidak mendapatkan penglihatan yang jelas karena
tertutupi oleh pepohonan yang tumbuh di sekitar mesjid, ust Usman Mamang
(pimpinan pondok) memerintahkan kepada Sya’ban (temanku) untuk memanjat pohon
yang paling tinggi di sekitar mesjid dan melihat suara apa itu sebenarnya,
beberapa saat kemudian dengan suara gemetar Sya’ban mengatakan “itu suara ombak
laut yang telah naik ke darat dan meluluh lantakkan rumah-rumah warga”.
“Lari,,,lari,,,lari,,,
ke bukit yang lebih tinggi”, kata ustadz kelahiran Flores tersebut, dengan
cepatnya ia lari ke mesjid lamcrueng (nama mesjid) yang ada di perumahan dekat
podok, disambarnya microfon yang ada di ruang takmir dan beliau menghimbau
kepada seluruh warga kampung Nusa agar segera lari ke gunung atau bukit yang
lebih tinggi karena air bah (air laut dalam bahasa aceh) sudah naik ke daratan.
“Cepat,,,cepat,,,air bah naik kedaratan, cepat,,,cepat,,,Tsunami,,,Tsunami,,,Tsunami,,,semuanya
naik ke gunung”, aku mendengar pengumuman ustadz Usman Mamang, langsung lari ke
asarama dengan tangisan takut, semuanya campur aduk, sesampainya di asrama aku
langsung membungkus pakaianku dengan sarung dan menggendongnya sambil lari ke
atas bukit yang lebih tinggi. Tidak ada lagi rasa sakit yang ku rasakan ketika
menginjak duri atau apapun yang biasanya terasa sakit jika kita menginjaknya,
tetapi tidak pada saat itu karena besarnya rasa takut atas kejadian itu, aku
terus berlari mengikuti warga kampung dan pondok untuk mendapatkan daratan yang
amat tinggi dan aman.
Sesampaiku di
atas bukit yang paling tinggi di sekitaran pondok, aku duduk dan merenungi
nasibku di perantauan tanpa orang tua, terlintas dipikiranku bagaimana keadaan
orang tua dan keluargaku, aku tidak tahu karena orang tuaku tidak tinggal di
Aceh, hanya ada pamanku di Banda Aceh namun mereka (pamanku dan keluarganya)
tidak tinggal di dalam pondok, mereka tinggal di perumahan dekat pondok.
Serentak aku langsung mencari pamanku, aku berharap mereka selamat dan sehat semua.
Aku segera berjalan ke kerumunan-kerumunan orang banyak, masih terasa gempa
susulan yang datang silih berganti
layaknya riak ombak di lautan, akhirnya aku menemukan pamanku dan keluarganya,
Alhamdulillah mereka selamat dan sehat semua.
Beberapa saat
kemuadian pimpinan pondok memberitahukan kepada masyarakat kampung dan warga
pondok bahwa ombak Tsunami telah berhenti dan reda, bagi warga pondok dan
penduduk desa yang ingin turun melihat keadaan rumahnya dipersilahkan namun
tetap berhati-hati dan waspada kalau sewaktu-waktu air laut naik lagi, tapi
pimpinan pondok juga menawarkan kepada warga yang ingin menenangkan diri dulu
di dalam pondok dipersilahkan, karena letak posisi pondok juga berada di atas
bukit yang lebih tinggi dari dataran rumah warga desa Nusa. Aku mengikuti
perintah pimpinan pondok untuk segera kembali ke pondok dan melakukan
koordinasi apa yang harus di lakukan selanjutnya. Hari pertanya tragedi ini aku
hanya berani bermain di dekat pondok saja, karena takut musibah itu akan datang
lagi, sore itu bersama teman-teman kami mencari barang-barang yang masih layak
digunakan dan makanan-makanan yang hanyut terbawa gelombang Tsunami. Malam
harinya aku hanya tidur di dalam asrama saja, malamm itu gelap gulita hanya
sinar senter dan lilin yang terlihat, PLN mati total akibat hantaman gelombang
Tsunami sehingga dimana-mana gelap gulita, sinyal pun banyak gangguan akibat
musibah ini. Malam itu aku bersama yang lainnya sedang istirahat sambil
bersenda gurau, tiba-tiba gempa itu datang lagi, aku yang pada saat itu berada
di lantai dua asrama berebutan tangga untuk turun asrama bersama teman-teman
dan warga kampung yang menginap di asrama, gempa itu hanya sebentar dan hanya
sekali saja, tidak seperti yang sebelumnya. Setelah itu barulah kami bisa
beristirahat dan tidur hingga Shubuh menyongsong.
Keesokan
harinya aku bersama teman-teman dan beberapa ustadz pondok pergi menyusuri
tebing gunung menuju ke pusat kota guna mencari salah satu pengurus pondok dan
seorang santri yang setelah gempa kemarin mereka pergi ke pasar untuk belanja
keperluan dapur umum. Di sepanjang jalanan aku melihat ribuan mayat
bergelimpangan yang tau tau siapa dan berasal dari mana, setiap ada mayat kami
langsung hampiri dan kami buka mukanya untuk
melihat wajahnya. Dikarnakan tidak kunjung jumpa juga, sementara hari
sudah mulai petang kami pun memutuskan untuk kembali ke pondok dan
melanjutkannya esok hari. Alhamdulillah keesokan harinya ustadz dan seorang
temanku pulang ke pondok dengan tidak berkurang suatu apapun.
Hari-hari aku
lalui di pondok yang kini telah berubah menjadi posko pengungsian sebagaimana
layaknya para pengungsi pada umumnya, hingga suatu hari aku mendengar bahwa
ustadz pimpinan pondok Pesantren Hidayatullah wilayah NAD akan kembali ke kota
Medan, maka aku pun memberanikan diri untuk meminta ikut ustadz tersebut ke
Medan dan melanjutkan sekolah di pondok pesantren Hidayatullah Medan, karna
sekolahku yang dulu habis di hancurkan oleh tsunami. Akhirnya aku berangkat ke
Medan dan tinggal disana kurang lebih tiga bulan, kemudian aku dipindahkan ke
Lhokseumawe, setelah setahun di Lhokseumawe aku meminta diri untuk dipindahkan
ke Pekanbaru. Dua tahun di SMP As-Sa’id pondok Pesantren Hidayatullah
Pekanbaru, untuk melanjutkan pendidikanku aku memilih untuk pindah ke pondok
Pesantren Hidayatullah Batam Kepulauan Riau. Aku sekolah di SMA Integral
Hidayatullah Batam sampai lulus dan kini aku melanjutkan ke perguruan tinggi
mililik Hidayatullah yaitu STKIP (Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan)
Hidayatullah Batam.
Title : TRAGEDI 26 DESEMBER 2004
Description : Minggu 26/12/2004 aku (Iwan Setiawan) beraktivitas sebagaimana anak pondok pesantren Hidayatullah desa Nusa, kecamatan Lhoknga, Banda...
Description : Minggu 26/12/2004 aku (Iwan Setiawan) beraktivitas sebagaimana anak pondok pesantren Hidayatullah desa Nusa, kecamatan Lhoknga, Banda...
0 Response to "TRAGEDI 26 DESEMBER 2004"
Posting Komentar